Jumat, 02 Desember 2011

KATA PENGHUBUNG [KONJUNGSI] DAN KATA DEPAN [PREPOSISI]


Kata penghubung adalah kata yang menghubungkan bagian-bagian kalimat atau menghubungkan kalimat dengan kalimat.

Jenis-jenis kata penghubung:
1.      Penjumlahan : [serta, dan, kemudian]
2.      Perlawanan: [bukan saja, tetapi, melainkan, tidak hanya, akan]
3.      Pemilihan: [atau, atau... atau, atau...maupun, baik... baik, entah... entah]
4.      Hubungan waktu: [sejak, sedari, tatkala, ketika, sambil, selagi, sehabis, setelah, sebelum, seusai, sampai, hingga, semenjak]
5.      Hubungan syarat: [jika, jikalau, kalau]
6.      Hubungan tujuan :[agar, supaya, biar, guna]
7.      H. Pertentangan: [walaupun, biarpun, kendatipun, namun, akan, tetapi, melainkan]
8.      H. Perbandingan: [ibarat, seperti, bagaikan, laksana, bagai, baik]
9.      H. Penyebab: [sebab, karena, oleh karena, oleh sebab itu]
10.  H. Akibat: [sehingga, maka, sampai-sampai]
11.  H. Cara: [dengan]
12.  H. Sangkalan: [seakan-akan, seolah-olah]
13.  H. Kenyataan: [padahal]
14.  H. Hasil: [makanya]
15.  H. Penjelasan: [bahwa]
16.  H. Atributif: [yang, yang... –nya]
17.  Gabungan sederajat: [dan, lagi, lagi pula, serta]
18.  Antarparagraf: [sebaliknya, namun, dengan demikian]


KATA DEPAN [PREPOSISI]

Kata depan adalah kata yang bertugas merangkaikan kata atau bagian kalimat.

1.      Dari: menandai hubungan asal, arah dari suatu tempat atau milik
2.      Dengan: hubungan kesetaraan atau cara
3.      Di: hubungan tempat berada
4.      Ke: hubungan arah menuju suatu tempat
5.      Oleh: hubungan pelaku atau yang dianggap pelaku
6.      Pada:hubungan tempat atau waktu
7.      Sejak: hubungan waktu dari saat yang satu ke saat yang lain
8.      Bagi, untuk, buat, dan guna: hubungan peruntukan
9.      Karena, sebab: hubungan sebab


Sumber: dari berbagai sumber


Salam Pencinta Bahasa dan Sastra Indonesia,
Radindra Rahman [Abdul Ra’ub Ar-Rahman]

KATA BAKU DAN TAK BAKU


Kata baku adalah kata yang digunakan oleh pemakai bahasa sesuai dengan kaidah tata bahasa yang ditentukan.

Kata tidak baku adalah kata yang digunakan oleh pemakai bahasa tidak sesuai dengan kaidah tata bahasa yang ditentukan.

Ciri-ciri bahasa santai:
1.      Gaya santai
2.      Memakai istilah / interjeksi yang khas [deh, dong, sih, nih ye, trendi]
3.      Kecenderungan menghilangkan [men-] pada kata kerjanya [nonton, nabrak, ngambil, ngeliatin, nasihatin]
4.      Memakai kata-kata daerah [tumben, nongkrong]

Sifat-sifat bahasa baku:
1.      Kemantapan dinamis:
Mantap: sesuai dengan kaidah bahasa
[Pen-] : rajin [perajin] bukan pengrajin
Dinamis: tidak statis, tidak kaku
2.      Cendekia: [dipakai dalam situasi resmi] pewujud bahasa baku adalah orang-orang pelajar
3.      Seragam:
Pembakuan bahasa adalah pencarian titik keseragaman dalam penggunaan bahasa

Daftar kata-kata baku dan tak baku:
*note: [kata tak baku] = kata baku
1. [lantas] = kemudian
2. [dibikin] = dibuat
3. [dikasih tau] = diberitahukan
4. [fikiran] = pikiran
5. [capek] = lelah
6. [barusan] = baru saja
7. [ngapain] = mengapa
8. [atlit] = atlet
9. [sistim] = sistem
10. [praktek] = praktik
11. [apotik] = apotek
12. [nasehat] = nasihat
13. [resiko] = risiko
14. [olah raga] = olahraga
15. [gue / aku] = saya
16. [nopember] = november
17. [rejeki] = rezeki
18. [propinsi] = provinsi
19. [perangko] = prangko
20. [triplek] = tripleks
21. [antar kota] = antarkota
22. [ekstra kurikuler] = ekstrakurikuler
22. [analisa] =analisis
23. [nafas] = napas
24. [aktifitas] = aktivitas
25. [atmosfer] = atmosfir
26. [kwitansi] = kuitansi
27. [sukur] = syukur
28. [ijasah] = ijazah
29. [azaz] = asas
30. [merubah] = mengubah, dll.

Perbedaan kata baku dan tak baku:
ciri kebahasaan:
1.      Tidak dipengaruhi oleh bahasa daerah: [saya, mengapa, bertemu] bukan [gue, kenapa, ketemu]
2.      Tidak dipengaruhi oleh bahasa asing: [kantor tempat, itu benar, kesempatan lain, pertama kali] bukan [kantor di mana, itu adalah benar, lain kesempatan, kali pertama]
3.      Bukan bahasa pasar: [dengan, memberi, tidak] bukan [sama, kasih, enggak]
4.      Pemakaian imbuhan secara eksplisit: [bekerja, menyerang, suka akan] bukan [kerja, serang, suka dengan]
5.      Sesuai kontek kalimat: [disebabkan oleh, lebih besar daripada] bukan [disebabkan karena, lebih besar dari]
6.      Tidak rancau: [berkali-kali, mengesampingkan] bukan [berulang-ulang, mengenyampingkan]
7.      Tidak mengandung pleonasme: [para tamu, hadirin] bukan [para tamu-tamu, para hadirin]
8.      Tidak mengandung hiperkorek: [insaf, sah] bukan [insyaf, syah]



Sumber: dari berbagai sumber

Salam Pencinta Bahasa dan Sastra Indonesia,
Radindra Rahman

Contoh Teks Analitikal Eksposisi dalam Bahasa Indonesia

  

Inilah contoh teks analitikal eksposisi (analytical exposition) dalam bahasa Indonesia karya Radindra. Sebenarnya ini sebagai tugas mata kuliah "Genre Studies". Silakan dibaca dan dikomen:

                                       Pentingnya EYD dalam Tulisan (EYD Makes Good Writing)

     Penulis adalah orang yang memiliki kegiatan atau pekerjaan menulis. Tapi tidak semua orang yang ingin menjadi penulis menyadari bahwa tata bahasa (Ejaan Yang Disempurnakan) itu penting dalam menulis. Padahal tata bahasa sangat memengaruhi baik dan buruknya tulisan mereka.

     Pertama, tata bahasa penting untuk membuat pembaca paham terhadap tulisan kita. Hal ini tidak bisa dipungkiri, jika tulisan kita memiliki tata bahasa yang buruk akan membuat pembaca bingung terhadap ide cerita yang ingin kita sampaikan. Sehingga cerita yang kita konsep dengan baik tidak akan tersampaikan pesannya ke para pembaca.

     Kedua, tata bahasa sebagai cermin penulisnya. Baik dan buruknya tulisan itu menjadi bukti keseriusan penulisnya. Jika tulisan itu memiliki tata bahasa yang baik berarti penulisnya memiliki rasa yang tinggi dalam ketelitian dan keseriusan dalam menulis. Tapi jika tata bahasa dalam tulisan itu buruk, ini berarti penulisnya hanya menulis kata yang tidak bermakna. Dia tidak serius dalam menulis.

     Ketiga, tata bahasa menjadi penilaian penting oleh penerbit (editor). Selain penerbit mencari naskah yang memiliki cerita bagus (tidak pasaran) dan ada nilai jual, di samping itu penerbit juga memerhatikan tata bahasa dari naskah yang diberikan kepadanya. Penerbit (editor) juga merasa malas untuk membaca naskah yang memiliki tata bahasa yang berantakan. Hal ini bisa membuat naskah kita tidak diterima oleh penerbit.

     Dari alasan-alasan di atas kita bisa menyimpulkan bahwa tata bahasa (EYD) itu penting untuk membuat tulisan yang bagus dan dapat berterima oleh penerbit. Karena tulisan tidak akan terlepas dari yang namanya tata bahasa.

note:
*The social function is the persuade the readers or the listeners that something is the case.
*The generic structure is...
-Thesis
-Arguments
-Re-iteration

Menulis adalah Perjuangan Kata



Menulis itu susah. Menulis itu buang-buang waktu. Menulis itu pekerjaan orang-orang kuper. Menulis itu hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang berbakat.
Apa teman-teman juga berpikir seperti itu? Jangan pernah mengatakan bahwa menulis itu susah dan hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki bakat menulis. Sebelum Anda mengatakan hal itu, cobalah untuk menanamkan niat dan semangat untuk benar-benar mencapai titik kesuksesan untuk ke depannya. Semua itu terasa sulit hanya untuk orang-orang yang tidak memiliki semangat dalam hidupnya dan mudah berputus asa jika mengalami kegagalan di tengah jalan. Atau merasa pesimis dan kurang percaya diri jika disandingkan dengan karya-karya penulis yang sudah mumpuni di bidangnya. Hal itu hanya akan membuat teman-teman berkecil hati dan merasa tidak mampu untuk terjun ke dunia kepenulisan. Semuanya akan terbantahkan! Apabila Anda menanamkan niat dan memiliki semangat yang tidak mudah luntur walau diterpa badai besar sekali pun. Semua itu butuh proses, bukan?
Sedikit kisah yang bisa saya bagikan kepada teman-teman tentang perjuangan saya menulis sampai pencapaian saat ini. Apa yang memotivasi dan menginspirasi saya untuk menjadi seorang penulis dan tertarik menggeluti dunia kepenulisan. Saya tertarik menulis sejak keseringan saya membaca karya-karya fiksi (novel, cerpen, puisi, drama dan lain sebagainya), terutama karya-karya dari Si Binatang Jalang; Chairil Anwar. Sajak-sajak puisinya seakan memberi magnet tersendiri di hati.
Saat itu saya duduk di bangku kelas dua Madrasah Tsanawiyah Nurul-Qur’an. Saya yang memiliki hobi membaca, tidak pernah luput dengan yang namanya melahap buku-buku apapun yang ingin saya baca. Apalagi yang namanya buku-buku fiksi yang membuat saya nyaman saat membaca buku itu. Walaupun saat itu saya hanya bisa membaca buku-buku itu dari perpustakaan, lembaran-lembaran dalam buku pelajaran dan buku-buku yang saya pinjam dari teman-teman. Karena membeli buku-buku seperti itu bagi saya terasa berat, karena uang saku yang masih meminta dari orangtua. Jadi, hanya bisa menikmati buku-buku dengan meminjam atau jalan gratisan. Dari keseringan membaca karya-karya fiksi itulah ada ketertarikan saya untuk menulis. Awal mula saya menulis dalam bentuk puisi-puisi. Masih dalam taraf penyusunan kata-kata yang ambur adul. Karena waktu itu saya belum tahu betul bagaimana menulis puisi dengan baik dan benar. Hanya yang ada dalam perasaan dan pikiran akan saya tuangkan dalam bentuk tulisan. Apapun itu!
Waktu itu belum ada peralatan yang mendukung untuk menulis, seperti komputer, laptop atau mesin ketik. Saya menulis hanya bermodalkan kertas-kertas kosong dan bolpoin yang membuat saya terus menggoreskan kata demi kata dalam tulisan saya. Karena niat untuk menjadi seorang penulis begitu menggebu-gebu dalam hati.  
Setiap hari tanpa mengenal lelah, saya terus menggoreskan pena di kertas-kertas kosong. Hingga yang namanya puisi itu bertambah banyak yang saya hasilkan setiap hari. Entah itu bisa disebut puisi atau tidak! Saya tidak memperdulikan hal itu. Dalam pikiran saya yang terpenting adalah terus menulis dan menulis tanpa mengenal kata menyerah. Akhirnya setelah terkumpul banyak puisi. Saya mempunyai keinginan untuk menerbitkannya. Semua penerbitan buku saya cari dan telusuri dari berbagai sumber. Baik itu dari buku-buku maupun dari internet. Bahkan saya sempat menghubungi salah satu penerbit yang memang menyediakan ruang untuk sebuah karya fiksi. Setelah mendapatkan informasi yang cukup mengenai penerbitan dan tata caranya, saya mulai berani untuk menerbitkan karya saya. Namun, sebelum melakukan hal itu, tentunya saya harus mengoreksi karya-karya saya terlebih dahulu. Apakah layak untuk diterbitkan atau tidak? Itulah yang menjadi pertanyaan.
Akhirnya saya meminta bantuan teman-teman sekelas untuk memberikan kritikan terhadap karya saya. Saat mereka bilang bagus hal itu membuat saya sangat bahagia. Namun, tidak sedikit yang mengatakan karya saya buruk atau jelek. Hal itulah yang membuat saya pesimis dan mengurungkan niatan saya untuk menerbitkannya. Ambisi yang awalnya menggebu-gebu itu saya urungkan untuk menanti waktu yang tepat untuk menerbitkan karya saya. Namun, saya tidak patah arang begitu saja. Justru waktu itu, saya semakin berambisi untuk menjadi seorang penulis. Saya yakinkan pada diri saya bahwa suatu saat nanti saya akan menjadi seorang penulis yang mumpuni dan bisa membahagiakan kedua orangtua saya dengan karya-karya saya. Oleh karena itu, saya tidak akan pernah berhenti untuk menulis dan akan terus memperbaiki karya-karya saya.
Menginjak kelas tiga akhir, tulisan-tulisan saya semakin banyak dan menumpuk. Terutama dalam bentuk puisi. Bahkan ada penerbit yang menawarkan untuk menerbitkan karya saya. Tapi karena masih tidak begitu tahu dunia penerbitan seperti apa. Akhirnya saya menolak untuk menerbitkan karya saya terlebih dahulu. Karena masih banyak yang perlu saya perbaiki dari tulisan-tulisan saya.
Saat duduk di bangku perkuliahan. Saya sempat menghentikan aktivitas saya menulis untuk sementara waktu, karena tugas kuliah yang cukup padat. Tapi ada salah satu dosen saya yang saat itu juga seorang penulis. Saat beliau mempromosikan karya-karyanya, saya pun begitu tertarik untuk mulai lagi menggeluti dunia tulis menulis. Ambisi itu pun mulai kembali dalam hati. Dari beliaulah saya menjadi termotivasi untuk bangkit kembali. Akhirnya saya memberanikan diri untuk mulai menulis buku dan tidak cukup hanya itu. Saya harus bisa menerbitkannya. Kemudian saya mengajak seorang teman yang memang memiliki hobi yang sama dengan saya, yaitu menulis. Namanya Nurlinda Indah SN. Kami berdua berencana untuk membuat antologi puisi. Setelah naskah selesai kami buat. Hal yang membuat kami hampir putus asa adalah mencari penerbit yang memang menyediakan ruang untuk naskah puisi. Ya, seperti yang kita ketahui, tidak banyak penerbit yang mau menerima naskah puisi bahkan hampir tidak ada. Segala macam penerbit sudah kami cari dan kami hubungi satu per satu. Namun, hasilnya nihil. Mungkin saya tidak bisa menjadi seorang penulis. Kata-kata semacam itulah yang selalu memenuhi pikiran saya waktu itu. Namun, Nurlinda terus memberi semangat kepada saya dan meyakinkan bahwasanya masih ada jalan yang Allah berikan jauh lebih baik daripada hari ini.
Beberapa hari saya terus berusaha mencari penerbit. Namun, hasilnya sama; nihil. Akhirnya saya bertanya-tanya kepada teman penulis di jejaring sosial facebook. Mereka menyarankan untuk menerbitkan karya kami melalui indie. Segera kami mencari informasi-informasi mengenai penerbitan buku dengan cara indie. Saya dan Nurlinda pun sepakat untuk menerbitkan buku kami ke penerbit indie. Walaupun buku pertama saya melalui penerbitan indie, tapi hal itu cukup membuat saya senang. Namun, target saya tetap ada untuk membuat karya yang bisa diterima di penerbit nasional.
Untuk mengasah kemampuan, saya pun mencoba mengikuti perlombaan-perlombaan  yang ada di dunia maya. Terutama di jejaring sosial facebook. Berturut-turut pun naskah saya tidak lolos dalam perlombaan itu. Perasaan kecewa pun ada, tapi saya mencoba mengambil hikmah dari semua itu. Saya menjadikan hal itu pengalaman dan proses kedewasaan agar bisa membuat karya yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Satu perlombaan yang membuat saya bisa bernafas lega adalah saat cerita saya masuk seratus besar di Indie Publishing yang mengangkat tema “Scary Moment”. Saya tidak menyangka cerita saya bisa masuk dalam perlombaan itu. Ternyata harapan itu tidak sia-sia. Semenjak itu, saya kukuhkan ambisi untuk menjadi seorang penulis.
Ada beberapa buku yang sampai kini masih memotivasi dan menjadi inspirasi saya untuk terus menanamkan ambisi saya itu. Ya, salah satu buku dari Ari Kinoysan Wulandari yang berjudul “Jadi Penulis Fiksi! Gampang, Kok!”. Semenjak membaca buku itu, banyak inspirasi yang saya dapatkan dari kisah si penulisnya sendiri. Dan kini, saya memberanikan diri untuk mengajak teman-teman kampus dalam penyusunan antologi cerpen. Entah mereka memiliki hobi menulis atau tidak, saya tidak memperdulikan hal itu. Yang saya inginkan adalah mereka bisa menulis untuk diri mereka sendiri atau bahkan untuk orang lain. Bahkan saya tidak menyangka, saya yang perlu motivasi dan inspirasi dari orang lain, justru teman-teman saya sendiri termotivasi karena saya. Alhamdulilah, itulah yang bisa saya ucapkan. Akhirnya perjuangan saya selama ini tidak sia-sia. “Human proposes, God disposes”. Manusia hanya bisa berencana, tapi Tuhanlah yang menentukan. Sebaris kalimat yang masih  saya pegang sampai saaat ini. Karena kita sebagai manusia hanya bisa merencanakan apapun yang ingin kita gapai. Namun, jika Tuhan belum berkehendak, kita sebagai seorang hamba hanya bisa ikhlas, sabar dan tawakal kepada-Nya. Karena kehidupan itu adalah proses yang tidak bisa kita duga dan tidak bisa kita diramalkan. Namun, kita di dunia hanya bisa menjalani seperti apa yang sudah digariskan oleh-Nya. Jadi, untuk teman-teman jangan pernah mengatakan menulis itu susah. Mulailah dari sekarang untuk mempersiapkan diri menjadi seorang penulis. Yakinlah tindakan yang nyata akan mengiring kesuksesan, tentunya disertai dengan niat dan semangat yang tidak akan pernah padam.